Nge-bucin Pak Suami

Source : Koleksi Pribadi
 

Nge-bucin Pak Suami


Memasuki satu dekade pernikahan, ternyata belum cukup untuk merefleksikan betapa bersyukurnya aku diberikan rezeki seorang Muhammad Irfan, suamiku.

 

Tahun Pertama Pernikahan

Aku memang bukan cinta pertamanya, ada wanita lain yang lebih mencintainya. Bedanya jauh, aku tidak bisa menandingi rasa sayang, perhatian dan pengorbanan dia untuk suamiku. Bahkan sekarang, walaupun kasih sayang suamiku tercurah untukku, tidak dengan tetiba kabar sakit menghampiri gendang telinga suamiku. Seketika suamiku menjadi resah, tak tenang dan rasanya ingin segera bertemu dengan dia.

Dulu, aku belum bisa memahami kenapa harus berbagi. Bukankah sekarang ia hanya milikku?

Bukan mudah untuk bisa bersama dengan suamiku seperti sekarang ini. Sekitar lima tahun harus beradaptasi dan saling memahami satu sama lain, sebelum masuk ke pernikahan. Bahkan, entah ia sadar atau tidak, jika menggunakan istilah anak jaman sekarang, aku sudah nge-bucin sejak semester awal perkuliahan. Aku enggak terima jika ada wanita lain yang menyebutku sebagai wanita pemecah kasih sayang.

 

Ditambah riak emosi usia muda, latar belakang keluarga yang menjadikanku sosok mandiri dan terbiasa mengambil keputusanku sendiri. Aku sangat tidak terima dengan semua hal yang tetiba saja ingin masuk kedalam rumh tangga kami berdua dan mengambil alih beberapa hal begitu saja.

 

Tapi, entah karena apa, suasana mereda. Selain seringnya suamiku memintaku untuk bersabar, memaklumi dan memahami setiap detail kondisinya. Mungkin juga wanita itu mengalah, atau mungkin suamiku berhasil bernegosisasi dengannya agar dia mau memaklumi pilihan hati anaknya. Iya, benar. Konflik pertamaku layaknya cerita novel mainstream dengan ibu mertua. Karakterku dan ibu mertua begitu mirip, rasa sayang dan rasa memiliki yang begitu besar terhadap satu orang yang sama, dia, seorang Muhammad Irfan.

 

Beratnya Tiga Tahun Pertama

Tahun ketiga pernikahan, aku dan suamiku masih harus bersabar karena masih belum mempunyai momongan. Mungkin, sebagian orang masih mampu membayangkan bagaimana rasanya. Tapi dalam kasusku, selain masalah internal yaitu ke-baperanku, ditambah lagi dengan omongan di circle terdekat yang masih saja mempertanyakan, membandingkan dengan adik yang sedang hamil anak kedua dan menyudutkan kondisi aku yang masih bekerja. Aku muak, lelah, banyak menangis dan menyalahkan keadaan.

Tapi tidak dengan dia, suamiku. Bahunya tetap menjadi sandaran, katanya yang lembut menjadi penyemangat, bahkan candaannya,”Yuk bikin lagi yuk” mampu membuatku tertawa. “Dasar kamu!” batinku.

 

Menuju Tahun ke-6, Sebuah Titik Balik

Mei 2018, Allah Maha Baik. Mungkin kenapa buah hati belum ada diantara kami, karena masih jauhnya gap antara kami bertiga, yaitu antara aku, suamiku dan Allah. Atas izin-Nya, kami mengikuti kelas komprehensif Aqidah Islam, menemukan rumus kebahagiaan sejati. Bagaimana mendefinisikan rezeki bukan hanya persoalan materi, tetapi apa yang mampu kita syukuri atas apa yang sudah Allah beri dan menjadi keberkahan dalam hidup, itu yang lebih penting untuk dicari.

 

Dikelas itu juga, aku belajar tentang sejarah. Bagaimana orang-orang saleh memuliakan orang tuanya. Kisah isteri-isteri penghuni surga dengan berbagai karakter diri dan suaminya. Dari sini, membuatku memahami, kenapa suamiku pada saat awal pernikahan begitu patuh dan sayang terhadap ibunya. Seharusnya, aku banyak-banyak bersyukur, karena nasihat ustaz di kelas itu adalah, “Nikahilah pria yang menyayangi ibunya. Karena ia pasti tahu bagimana membahagiakan seorang wanita.”

 

Hei kamu, Muhammad Irfan. Aku makin bucin sama kamu. Kamu harus bertanggung jawab agar selalu membimbingku sampai surga nanti, ya.

 

Ketika Islam Datang, Semua Menjadi Tenang

Memang benar adanya, Islam datang sebagai solusi setiap manusia. Bukan hanya pemeluknya, tetapi semua. Banyak sirah mencatat, 1400 tahun yang lalu, kriminalisasi hanya terjadi sebanyak 200 kasus saja. Dan itu semua karena diterapkannya hukum-hukum Islam didalamnya.

Persoalan negara saja ada solusinya, apalagi ini, hanya seputar persoalan keluarga dan rumah tangga. Pastilah ada jalan keluarnya.

Belajar dari sejarah dan mencermati setiap perkataan ustaz di kelas, ternyata kunci kebahagiaan sejati adalah dengan memahami Islam seutuhnya. Belajar dari Nabi Ibrahim, Nabi Zakariya, sampai meneladani kesabaran Nabi Ya'qub yang kehilangan anak kesayangannya, yaitu nabi Yusuf.

Ustaz Weemar Aditya sebagai dosen pengampu di kelas Aqidah yang saya ikuti, memberikan tips agar dalam menjalani hidup ini lebih, yaitu, “Hidup itu semudah memilih pilihan yang berpahala dan mensyukuri sisanya. Jika bukan dan untuk dunia kita melakukannya”

 

Bagaimana maksudnya?

 

Bahwa dalam hidup, banyak hal yang membuat kita sedih dan kecewa akibat perbuatan orang lain. Bahkan tidak sedikit yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang salah. Padahal, ‘freewill orang lain adalah qada buat kita.’

 

Qada adalah segala ketetapan Allah yang sudah terjadi dalam hidup kita, hanya perlu disikapi dengan sabar dan bersyukur.

Sedangkan Freewill adalah kebebasan manusia untuk memilih setiap pilihan hidup dan pilihan untuk bertindak. Dan agar pilihan itu menjadi pahala, seharusnya  berdasarkan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dan kecondongan hati terhadap dunia, yang membuat kaki kita berat melangkah kearah yang lebih baik. Karena, mengharap ridha-Nya belum tentu semudah yang kita bayangkan.


Karena itulah, walaupun sudah hampir sepuluh tahun berumah tangga, in syaa Allah, atas izin-Nya, kami menjalani semua itu dengan syukur, sabar dan tetap melakukan usaha-usaha sebagai freewill kami dan berharap dari situlah pundi-pundi pahala dapat kami raih.

 

Jazakallahu khairan katsiran suamiku, enggak salah aku nge-bucin kamu dari dulu. Terima kasih atas bimbingan dan kesabaranmu selama ini. Biarkan aku menjadi fans-mu nomor satu. Hingga kelak Allah meridhoi kita bukan sebagai pasangan yang saling menuntut di yaumil hisab, tetapi saling menunggu di baabul jannah, in syaa Allah.

#NgebucinPakSuami #Bucin #Suami #Kacamatanie #Pernikahan #Qada #Freewill #Aqidah

Komentar

Phai Yunita S Wijaya mengatakan…
Masya Allah... Seruu yah rumah tangga yang dilandaasi dengan iman islam dan rasa syukur. Adeemmm banget, bahkan 10 tahun pun rasa nya kayak masih pacaran aja nih, duh bucin bucin. Langgeng terus ya mba Ani dan suami.
Zakia Widayanti mengatakan…
Masya Allah senengnya dapat suami yang patuh sama ibunya. Walaupun aku juga paham si sebagai perempuan ada kalanya iri dan cemburu. Semoga bahagia terus ya mba dan jangan rebutan sama mertua hehe
Efi Firmani mengatakan…
Setuju mbak, selalu bersabar dan bersyukur dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Semangat ^^9
Princess Diaries mengatakan…
MashaAllah mba 10 tahun pernikahan tapi masih tetap salin buciiin.. :) semoga selalu diberi kebahagian dan ketenangan dalam menjalani hidup berumahtangga. terima kasih mba tulisannya..
Puput Maulani Mariam mengatakan…
masyaa allah, aku yang baru 5 taun pernikahan masih harus banyak belajar. selamat mencintai sampai jannag, mbak ❤️
Manda Dea mengatakan…
Masyaa Allah seneng banget dengernya, emang gitu ya kalo sama ibu mertua aku awal. Juga gitu hihi
Terimakasih ilmunya mba, harus banyak belajar juga nih aku
sharing-an mengatakan…
Aamiin Yaa Robbal 'alamiin..
Masyaallah...

Semoga segera Allah karuniakan anak-anak (keturunan) yang sholih/sholihah sebagai penerus perjuangan ya mbak... aamiin.
Peluk dari jauh (sesama pejuang garis dua)
Iva C Wicha mengatakan…
Konflik dgnertua emang masih santer ya, tpi dgn paham ilmu agama bisa minimalisir konflik yg ada
dseptya mengatakan…
Gak berasa masalah kalau ada suami yg dukung mba.. smoga segera dikaruniai anak anak yg sholeh sholehah mba